Etahnews.id | BATAM - Di tengah meningkatnya sorotan publik atas dugaan reklamasi dan pembabatan hutan secara ilegal di Pulau Pial Layang dan Pulau Kapal Besar, Kota Batam, sikap tertutup pihak PT. Citra Buana Prakarsa (CBP) semakin menimbulkan tanda tanya besar. Perusahaan yang disebut dimiliki oleh pengusaha bernama Hartono itu tak kunjung memberikan penjelasan resmi, terutama dari bagian legal yang seharusnya bisa menjawab langsung soal perizinan.
Padahal, saat ditemui langsung di lokasi proyek pada 8 Juli 2025, Hartono sendiri secara terbuka menyarankan Dewan Pimpinan Daerah Pro Jokowi (DPD Projo) Kepulauan Riau untuk menghubungi bagian legal perusahaan yang bernama Rio. Namun fakta di lapangan menunjukkan, Legal PT. CBP justru terkesan menghindar.
Dua Kali Didatangi, Legal PT CBP Tak Pernah Mau Muncul
Sekretaris DPD Projo Kepri, Dado Herdiansyah, mengungkapkan bahwa dirinya bersama tim dan rekan-rekan media telah dua kali mendatangi kantor PT. CBP di Harbour Bay, Batam—tepatnya pada 9 dan 15 Juli 2025. Tujuannya sederhana: meminta klarifikasi legalitas atas aktivitas proyek di dua pulau yang disebut telah mengalami pengrusakan ekosistem mangrove dan pembukaan lahan besar-besaran.
Namun, kedua upaya tersebut gagal. Pada kunjungan pertama, satpam kantor hanya menyatakan bahwa Rio sedang tidak berada di tempat dan menyarankan agar nomor telepon ditinggalkan untuk dihubungi kemudian. Hingga satu minggu berlalu, Rio tak pernah memberikan kabar atau menjadwalkan pertemuan.
“Kami datang baik-baik, ingin klarifikasi, sesuai arahan pemilik perusahaan. Tapi malah dihindari. Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus sembunyi?” tegas Dado Herdiansyah.
Kepentingan Publik Tak Boleh Diabaikan
DPD Projo Kepri menilai sikap legal PT. CBP yang menghindar bukan hanya tidak profesional, tetapi juga mencederai prinsip keterbukaan informasi yang dijamin konstitusi. Apalagi, kegiatan yang dilakukan perusahaan menyangkut ruang hidup masyarakat pesisir dan keberlangsungan ekosistem mangrove—salah satu aset ekologis penting Indonesia.
“Ini bukan urusan bisnis semata. Ini menyangkut hukum, lingkungan, dan hak publik untuk tahu,” lanjut Dado.
DPD Projo Kepri mempertanyakan itikad baik perusahaan. Jika benar kegiatan mereka memiliki perizinan lengkap dan sesuai prosedur, mengapa tidak dibuka ke publik?
“Fakta di lapangan jelas: tidak ada papan proyek, tidak ada sosialisasi, vegetasi mangrove hilang, dan sekarang legal perusahaan pun enggan bicara. Ini menambah kuat dugaan bahwa proyek ini bermasalah,” tambah Dado.
Investigasi Lapangan: Hutan Hilang, Legalitas Tak Terlihat
Dari hasil investigasi lapangan pada 8 Juli 2025, DPD Projo Kepri dan wartawan menemukan alat berat seperti excavator dan dump truck yang beroperasi di Pulau Pial Layang dan Pulau Kapal Besar. Tidak terlihat papan informasi proyek sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Pulau Kapal Besar bahkan terlihat telah kehilangan lebih dari 90% tutupan vegetasi, termasuk mangrove aktif. Padahal, kawasan tersebut merupakan garis depan pertahanan ekosistem laut dan pesisir.
Projo Akan Tempuh Jalur Hukum
DPD Projo Kepri menyatakan akan melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Direktorat Jenderal Gakkum KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Mabes Polri, serta Kejaksaan Agung RI.
“Kami akan ambil langkah hukum. Kalau pihak legal tidak mau bicara, biar aparat penegak hukum yang menyelidiki. Ini bukan sekadar pembukaan lahan, ini soal pelanggaran hukum lingkungan,” tegas Dado. (DN)