Etahnews.id | BATAM - Indonesia menyandang predikat sebagai negara dengan ekosistem mangrove terluas di dunia, sekitar 3,3 juta hektare yang membentang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mangrove bukan sekadar barisan pohon di tepi laut ia adalah benteng alami dari abrasi, tsunami, hingga krisis iklim. Tak tanggung-tanggung, Indonesia menyumbang sekitar 17 persen dari total cadangan karbon biru dunia.
Namun, ironi muncul dari wilayah barat Pulau Batam. Di sana, aktivitas reklamasi diduga berlangsung secara diam-diam di dua pulau sekaligus, yakni Pulau Pial Layang dan Pulau Kapal Besar. Fakta ini terungkap setelah Projo Kepri menyampaikan bahwa kedua pulau tersebut dikelola oleh satu grup perusahaan milik seorang pengusaha bernama Hartono. Sementara itu, Pulau Kapal Kecil yang masih berada dalam grup yang sama, disebut-sebut baru memasuki tahap perencanaan untuk dieksekusi.
Kepada awak media ini menceritakan Investigasi DPD PROJO Kepulauaan Riau bersama rekan - rekan media pada 8 Juli 2025 menemukan aktivitas alat berat di lokasi, mulai dari excavator, dan dump truck yang beroperasi di kawasan pesisir yang langsung berhadapan dengan negara Singapura, padahal wilayah tersebut masih ditumbuhi vegetasi mangrove aktif.
Yang mengkhawatirkan, tidak ditemukan papan informasi proyek di lokasi, sebagaimana mestinya dalam setiap kegiatan yang menggunakan ruang publik. Warga sekitar pun mengaku tidak mengetahui jenis kegiatan maupun legalitas proyek tersebut karna tidak ada sosialisasi lingkungan ucap zul salah satu warga pulau sekanak raya.
Di Pulau Pial Layang, rombongan DPD PROJO Kepulauan Riau dan media sempat bertemu langsung dengan Hartono, pemilik perusahaan PT. Citra Buana Park yang kebetulan datang bersama investor.
Hartono datang menghampiri rombongan yang sedang berbincang dengan Chief Security yang humble melayani pertanyaan dari rombongan. Hartono menyatakan bahwa akan ada dibuat waduk penampungan air guna mengatasi kesulitan air di wilayah pulau Pial Layang dan masyarakat sekitar.
"Untuk yang didepan ini akan dibuat waduk penampungan air hujan dan air serapan dari hutan, karena kalau musim kemarau akan susah air", ujar Hartono.
Ketika sekretaris DPD Projo Kepri, Dado Herdiansyah menanyakan terkait perizinan, Hartono menyampaikan agar bisa menjumpai bagian legal Saudara Rio di Kantor Cipta Buana Prakarsa Harbour Bay.
"Untuk perizinan silahkan jumpain legal kita, yang bernama Rio di Kantor", lanjut Hartono.
Hartono sempat meninggalkan rombongan dan menghampiri investor namun kembali lagi ke Sekretaris DPD Projo Kepri dan menyampaikan agar berjumpa Legal PT. Citra Buana Prakarsa bernama Rio.
Dalam penyampaian pemilik perusahaan terkait pembuatan waduk terasa janggal disampaikan waduk yang kecil itu juga untuk masyarakat sekitar.
Perlu diketahui, kata Dado bahwa Pulau Pial Layang tidak ada penduduk atau masyarakat, atau bisa disebut pulau itu pulau kosong penduduk, dan air serapan hutan juga tidak mungkin dikarenakan sebagian hutan di Pulau Pial layang sudah mulai dirambah untuk dbuat proyek ke depan.
"Memang kedepan kita akan buat hotel resort yang sama seperti Nirup, karena hunian masih kurang dan tamu lumayan penuh", tutup Hartono sebelum meninggalkan rombongan
Rombongan DPD Projo Kepri, melanjutkan ke pulau kedua yaitu Pulau Kapal Besar dengan dikawal dan didampingi oleh Chief Security dari PT. Citra Buana Prakarsa yang baik dan sangat bersahabat memberikan penjelasan.
Di pulau kapal besar dari pantauan lapangan, hampir 90% lebih vegetasi hutan sudah tidak ada, dan beberapa mangrove sudah tidak ada.
Dado Herdiansyah, yang turut turun ke lapangan, menyampaikan kekecewaannya terhadap proyek yang berjalan tanpa keterbukaan.
"Ini bukan sekadar proyek reklamasi. Ini menyangkut keberlanjutan lingkungan dan hak hidup masyarakat pesisir. Kalau memang legal, kenapa tidak terbuka? Kenapa tidak ada papan proyek?” ujar Dado Herdiansyah, Sekretaris DPD Projo Kepri
"Pulau Pial Layang yang ramai dibicarakan di media, namun setelah turun dilapangan ternyata Pulau Kapal Besar sudah terlebih dahulu dilakukan pembabatan hutan dan mangrove", ujar Dado.
Kedatangan rombongan DPD Projo Kepulauan Riau sebagai respon dari masyarakat yang berkembang.
"Kami tidak menolak investasi, namun hendaknya dilakukan dengan cara - cara yang benar"kata Dado.
Kata Dado, Rio bagian legal PT. Citra Buana Prakarsa yang dikonfirmasi ke kantornya di Kawasan Harbour Bay pada Rabu, 9 Juli 2025, terkesan menutup diri. " Saat di tanya “Pak Rio lagi di luar, bapak tinggal nomor telpon aja nntik di hubungi ," kata Satpam yang bertugas.
Sampai tanggal 15 Juli 2025 tidak bisa di konfirmasi walau sudah dua kali ke kantor.
Selanjutnya, sesuai dengan yang disampaikan oleh Hartono pemilik PT. Citra Buana Prakarsa agar menemui bagian legal bernama Rio, Dado Herdiansyah menuju ke Kawasan Harbour Bay di hari Rabu, 9 Juli 2025. Namun legal yang bernama Rio sepertinya sulit untuk ditemui dan terkesan berkelit untuk tidak mau menemui. Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak legal terkait status perizinan pengelolaan lahan di pulau Pial Layang dan Pulau Kapal Besar.
Instansi Terkait Bungkam
Upaya konfirmasi yang dilakukan media VokalPublika dan strighttimes kepada instansi pemerintah belum membuahkan hasil
Kepala DLHK Provinsi Kepri Hendri, ST tidak membalas pesan konfirmasi melalui WhatsApp selasa 8 Juli 2025 pukul 16: 30 wib. Sehari sebelumnya rombongan PSDKP Batam juga bersama beberapa instansi terkait juga mengunjungi kedua pulau tersebut, namun belum ada pernyataan resmi.
Sikap diam dari lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan lingkungan ini justru menambah kecurigaan publik.
“Pengawasan lemah, keterbukaan tidak ada. Ini mencerminkan sistem yang sedang sakit. Padahal undang-undang sudah sangat jelas,” ucap Dado Herdiansyah
Ombudsman: Status APL, Tapi Izin Tetap Harus Jelas Menanggapi polemik ini, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Lagat Siadari, mengonfirmasi bahwa kawasan yang dimaksud memang termasuk APL (Areal Penggunaan Lain) dan bukan kawasan hutan.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Lagat Siadari, menyatakan bahwa kawasan yang dimaksud memang berstatus APL (Areal Penggunaan Lain) dan bukan kawasan hutan. Namun ia menegaskan bahwa legalitas reklamasi tetap harus melalui prosedur resmi.
“Apakah aktivitas yang dilakukan PT Citra Buana Prakarsa telah memenuhi seluruh syarat perizinan? Ini yang masih belum jelas,” kata Lagat.
Tim KPHL Unit II Batam disebut telah melakukan peninjauan di Pulau Kapal Kecil yang masih dalam satu grup pengelolaan.yang memiliki status lahan serupa dan berlokasi di koordinat 1.139814, 103.835240. Ia menyebut sidak ini sebagai bentuk respons cepat atas dugaan pelanggaran tata kelola lingkungan
Jika benar kegiatan reklamasi ini berlangsung tanpa dokumen AMDAL maupun izin lingkungan, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi yang mengancam Hukuman penjara hingga 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar
Selain itu, reklamasi di kawasan pesisir wajib memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) sesuai Permen KP No. 28 Tahun 2021. Tanpa dokumen ini, kegiatan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
Bagi masyarakat pesisir, mangrove bukan hanya pohon. Ia adalah benteng dari bencana, ruang hidup biota laut, dan tempat bergantungnya ekonomi nelayan.
Ketika hutan mangrove ditebang dan digantikan tumpukan pasir reklamasi, yang hilang bukan hanya pohon tetapi juga harapan dan masa depan masyarakat pesisir.
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pro Jokowi (Projo) Kepulauan Riau menyatakan akan menempuh jalur hukum dengan melaporkan dugaan pelanggaran lingkungan hidup ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK), KKP, Mabes Polri, serta Kejaksaan Agung RI.
"Kami tidak bisa tinggal diam. Ini menyangkut kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi mendatang. Oleh karena itu, kami akan melaporkan secara resmi kepada Gakkum KLHK, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung agar ada tindakan hukum yang tegas", ujar dado herdiansyah
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah turun langsung ke lapangan dan mendokumentasikan sejumlah temuan yang diduga melanggar hukum.
"Setelah kami melihat langsung ke lokasi dan memiliki data yang lengkap, kami siap mengambil langkah tegas. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral kami terhadap lingkungan dan masyarakat,” kata Dado.
Terakhrir, Ia menegaskan bahwa laporan resmi akan segera dilayangkan dalam waktu dekat, sembari terus mengawal proses hukum yang diharapkan bisa menjadi pintu masuk untuk penertiban reklamasi ilegal di wilayah Kepri.
Saat dikonfirmasi oleh awak media ini melalui pesan WhatsApp, hingga berita ini diturunkan, Hartono belum memberikan respons. Meskipun beberapa kali upaya untuk menghubunginya telah dilakukan, hingga saat ini belum ada tanggapan resmi terkait pertanyaan yang diajukan. (Tim)